Tuesday, June 16

Tentang Menikah

Tuesday, June 16

Akhirnya masanya datang juga, dimana pertanyaan-pertanyaan tentang kapan menikah mulai menghantui — well, for me personally, its been like the second year after I hit thirty.
“Umur segini, nunggu apalagi sih?”
“Jadi kapan kau nikah?”
“Itu adek-adekmu udah punya pacar — mana pacarmu?”
Dan masih banyak lagi pertanyaan terselubung yang arahnya menjurus kesana.
Misalnya seperti semalam; ada ritual baru yang biasanya dilakukan, dalam keadaan pandemi seperti ini, yakni mengadakan zoom conference call. Walaupun tidak tentu waktunya, kadang sekali seminggu, atau bahkan lebih. Ya, tujuannya entah hanya sekedar bertanya kabar, berkelakar bersama, yang penting tau keadaan satu sama lain di tengah keadaan terbatas seperti ini. Kebetulan, kedua adik saya mengajak teman dekat mereka untuk ikut bergabung di dalam conference call tersebut, menyisakan saya sebagai objek atas serangan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Apakah merasa tersiksa karena pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas? Tentu tidak. Justru, sebagai abang yang paling tua turut senang ketika mengetahui mereka sudah punya teman dekat. Malah, saya berpesan kepada mereka, “tidak usah menunggu, jika kalian sudah siap untuk melangkah ke jenjang berikutnya, silahkan.”
Menikah bukan kompetisi, tidak peduli siapa yang duluan dan siapa yang belakangan.
Menikah juga bukan perkara dikejar-kejar umur. “Umurmu sudah berapa? Cepat-cepatlah menikah.” Apalagi desakan keluarga, teman-teman ketika sedang reunian di kondangan teman, atau tekanan sosial semata.
Dan paling penting, menikah bukan hanya sekedar perkara “Akhirnya, halal!” Bagi saya, kok ya cetek banget menikah hanya untuk melegalkan berhubungan badan. Apalagi biasanya selalu diikuti dengan tambahan argumen, “Ya, daripada sex bebas?” — hadeh.
Menikah jauh lebih dari itu. Dia sakral.
Dia berbicara mengenai menyatukan dua karakter. Hal-hal yang berkaitan dengan ego. Pemahaman akan sifat satu dengan yang lain. Bahkan mungkin lebih dari itu, dia juga menggabungkan dua keluarga. Perbedaan kultur dan latar belakang. Bagaimana dua menjadi satu — atau mungkin tetap menjadi dua, tapi tetap saling berdampingan.
Dia juga berbicara mengenai komitmen. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya dan kesetiaan. Bagaimana dua tetap menjadi satu, tanpa orang ketiga.
Dan juga berbicara mengenai kesiapan. Mulai dari mental hingga keuangan— ini yang paling berat. Keduanya harus saling menopang. Pernikahan bukan cerita dongeng putri-putrian. Dia realistis.
Lantas, kapan menikahnya kalo menunggu semua hal di atas?
Tidak ada yang tahu kapan waktu yang pas untuk jawaban pertanyaan tersebut. Setiap orang punya waktu yang berbeda-beda. Tidak perlu memaksakan waktu antara orang yang satu dengan yang lain.
Mungkin saja mereka yang sering memaksamu untuk cepat-cepat menikah, sebenarnya sengaja ingin menyuruhmu merasakan apa yang mereka rasakan, betapa rumitnya kehidupan pernikahan tersebut. Agar supaya berbagi keresahan yang sama. Mungkin saja loh.
Ah, tapi tau apa kamu soal menikah, kamu saja belum menikah?
Iya, betul. Justru karena merasa belum memiliki kualifikasi tersebut di atas sehingga belum berani untuk mengambil langkah jauh, sampai menikah. Ada mimpi dan kesempatan yang masih ingin dicapai, kesiapan mental dan finansial yang belum terpenuhi, dan masih banyak lagi hal yang masih nyangkut di kepala.
Dan jika kamu membaca tulisan ini — sama sekali, tidak ada niat untuk menakuti-nakuti keputusanmu untuk menikah. Apalagi untuk mengesampingkan kekuatan semesta terkait hal ini.
Yang pasti, selama kamu punya kebebasan untuk dirimu sendiri dalam menentukan pilihan mengenai hal ini, karena mungkin banyak orang di luar sana yang tidak punya banyak pilihan soal hal ini,
— pikirkanlah dengan jernih; pada akhirnya, menikahlah karena siap, bukan karena silap.

*postingan ini diposting juga di medium.com/@drivojansen

Monday, June 8

Sebuah Tulisan di Tengah Pandemi

Monday, June 8

"Hai, apa kabar?"

"Gimana, masih waras?"

Sebuah pertanyaan yang seringkali didengar, belakangan ini. Pertanyaan yang mungkin sering ditujukan  kepada  orang lain, tapi kadang lupa menanyakan kepada diri sendiri. 

Sudah sekitar tiga bulan berada di rumah saja, cukup punya banyak waktu luang, karena tidak cukup banyak yang dikerjakan. Walaupun banyak kebiasaan-kebiasaan baru yang entah bertambah atau berubah di kala waktu karantina di rumahada yang mulai senang memasak, berbekal resep online di sosial media, ada juga yang mulai senang dengan dunia tanam-tanaman, merubah sudut di rumah menjadi lebih hijau, atau bahkan iseng-iseng mulai membuat podcast, misalnya.

Atau bagi mereka yang tetap bekerja dari rumah, beradaptasi dengan ritme pekerjaan yang baru. Mengisi absen, lanjut dengan conference callyang mungkin bisa sampai malam, di luar jam kerja seharusnya. Belum lagi harus berurusan dengan pekerjaan rumahliterally. Batas-batas kehidupan dan pekerjaan yang makin kesini, makin tidak tampak, blur.

Apapun dilakukan, mencoba kebiasaan baruatau mungkin kebiasaan lama yang tadinya sudah jarang dilakukan, semuanya dicoba untuk menjaga diri tetap waras di tengah pandemi ini.

Dua bulan pertama, mungkin masih nikmat. Semua dicoba.

Memasuki bulan ketiga, perlahan-lahan mulai bergeser.

Seberapa keras usaha diri untuk tetap menjaga pikiran agar tetap positif, pasti ada satu masa dimana rasa lelah itu tidak bisa ditahan, tumbang juga.

The louder the laugh, the deeper the sadness. 

Hampir dua malam tidak tidur. Mata lelah mengantuk, tapi isi kepala menerawang kesana kemari, segar bugar.  Entah, ada saja yang jadi bahan pikiranlucu sekali jika mengingat kembali apa saja isi kepala saat itu karena sungguh randomnya. Good lord, trust me this is really exhausting.

Mungkin malam itu bagianku, tetap terjaga.

Bisa jadi malam sebelumnya, bagianmu, temanmu, kekasihmu atau salah satu kerabatmu.

Kita mungkin tidak bisa menjaga pikiran untuk selalu waras di tengah pandemi seperti inidi tengah ambigu berita dan realita.

Tapi kita bisa menjaga satu sama lain.





Dimulai dari orang-orang terdekat kitateman, kolega, keluarga.

Hampir setiap hari isi pesan di Whatsapp isinya hanya, "Teman, hari ini masak apa?"

Monoton? Banget. Bosan? Bukan lagi. Saking tidak tahu harus ngobrol apa lagi. Tertawa untuk hal-hal yang kadang apa-banget, yang penting bisa ketawa. Tapi obrolan-obrolan monoton semacam ini yang bisa menjaga satu dengan yang lain.

Atau mungkin, tidak ada salahnya jika kamu mengirimkan pesan "Apa kabar? Sehat selalu!" ke nomor kontak yang mungkin selama ini hanya tersimpan saja di telepon selularmu. Sesederhana itu. 

Tetap jaga dialog, agar kepalamu tidak bermonolog sendiri.

Hingga suatu saat nanti akhirnya, kembali ke kehidupan tanpa perlu was-was lagi dengan keadaan, dimana tatap muka, jabat erat, peluk hangat jadi pengganti dialog.

Ketika kamu membaca tulisan ini, semoga menjadi pengingat bahwa aku, kamu, kita pernah ada di tengah pandemi semacam ini. Dan kita, saling menjaga dan menguatkan.

This too shall pass. 




*tulisan ini dimuat juga di medium.com/@drivojansen

Wednesday, May 17

Pagi Magis di Tebing Keraton

Wednesday, May 17
Sudah lama sekali melihat postingan foto dengan pose orang yang berdiri atau duduk di ujung bebatuan sebuah tebing berseliweran di Instagram, dengan Tebing Keraton tertulis di tag location-nya. Dan didorong oleh rasa penasaran dan keinginan untuk meng-upload pose yang sama di Instagram –(EAAAA! #CETEK), maka berangkat kesini mari kita kemon.

Nah, Tebing Keraton itu ada di Bandung, di sekitar Dago Atas. Ya, gak terlalu jauhlah bagi mereka-mereka yang mungkin sudah bosan dengan hiruk pikuk ibukota, ingin menikmati indahnya pemandangan hijau di akhir pekan. Semacam short weekend gateway


Merinding disko gak ngelihatnya? Kalo saya sih iyes, gak tau deh kalo Dhani sama Bebi. *suara Anang* Nah, kalo mau lihat pemandangan magis kayak gitu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pas datang ke Tebing Keraton:

1. Harus datang pagi-pagi banget, bukan pagi-pagi aja.

Ini kunci utamanya. Kalo mau lihat pemandangan kayak gitu di Tebing Keraton harus udah sampai disana sebelum jam 7 pagi. Bisa lihat langit masih berwarna jingga, matahari terbit dan kabut yang menyerupai awan. Bukan berarti setelah jam 7 pagi pemandangan di Tebing Keraton udah gak bagus –masih bisa lihat pemandangan hijau dari bukit-bukit dan pohon pinus. Tapi sih ya, kalo menurut saya, pemandangan magis di pagi harinya yang juara. 


2. Nginep di sekitar Dago aja.

Nah, karena tadi yang udah di bilang sebelumnya kalo lebih baik datang ke Tebing Keraton pagi-pagi, makanya kalo saya saranin sih kalo mau ke Bandung dan pengen ke Tebing Keraton mending nginep di sekitaran Dago aja. Ya, nginep di tempat lain juga gapapa sih, tapi yakin bisa bangun pagi-pagi subuh?

Kalo nginep di sekitaran Dago kan, minimal bisa bangun jam setengah enam, gak usah pake mandi, cuci muka sama sikat gigi terus langsung berangkat ke Tebing Keraton. *kemudian dilempar gayung* Etapi beneran, mandinya nanti aja kalo udah pulang dari Tebing Keraton. *beneran diguyur*

Kalo soal penginapan, di sekitar Dago ada beberapa pilihan kok, mulai dari penginapan murah sampai yang mahal. Tinggal disesuaikan sama kantong aja. Kalo kemaren, kebetulan saya nginepnya di Penginapan Puri Tomat. Jaraknya gak terlalu jauh dari Terminal Bus Dago. Termasuk murah pun, sekitar 300-350ribu-an semalam. Berhubung perginya rame-rame jadi kan bisa patungan. Lumayan lah, daripada lumanyun. #jokelawas



 3. Terus gimana caranya ke Tebing Keraton?

Jadi, pertama-tama sih ya harus tau lokasinya Tebing Keraton ini dulu. *sodorin Google maps* Enggak deng, jadi Tebing Keraton ini ada di sekitaran Dago Atas, di daerah Hutan Raya Juanda. Pokoknya mah, dari terminal bus Dago, masih naik ke atas lagi sekitar setengah jam.

Terus gimana cara paling gampang ke sana? Ya kalo yang punya kendaraan sih enak. Bisa langsung nyampe. Nah kalo yang gak punya kendaraan? Gak ada angkot yang lewatin Tebing Keraton loh. Tapi jangan sedih, kan masih ada Kang Ojek. 

Yang pasti sih, kalian harus naik angkot menuju terminal bus Dago dulu. Karena kalo naik angkot ke terminal kampung rambutan, itu mah namanya kalian balik ke Jakarta. *dilindes angkot*

Nah, tadi makanya saya bilang nginepnya di sekitar Dago aja, biar gampang. Ada angkot macam mikrolet warna hijau gitu yang lewat di depan penginapan, jaraknya pun cuma sekitar 5-10 menit udah nyampe. Terus dari terminal Dago naik apa, kan gak ada angkot ke Tebing Keraton? Udah paling gampang naik ojek aja. Perjalanan sekitar 20 menit, langsung nyampe. Biayanya sekitar 60-100 ribu, tapi itu udah pulang-pergi ya bukan sekali jalan. Ditungguin pula sama abang ojeknya nanti. Jadi gak perlu khawatir pulangnya gimana. Ya, pinter-pinter nawar aja lah.

4. Terus di Tebing Keraton itu suasananya gimana?

Yang pasti sih, sebelum masuk ke area Tebing Keraton, bayar tiket masuknya dulu. Tapi gak mahal kok, kecuali kalo kamu turis asing ya, harganya beda jauh. Masih enggak ngerti kenapa bedanya tiket masuk untuk turis lokal dan asing bisa jauh banget gitu. 

Dan begitu masuk ke area Tebing Keraton, jangan harapkan tempat yang sepi, sunyi dan sendiri. Ingat, ini Tebing Keraton, bukan hati kamu. *kemudian ditombak*

Masih pagi-pagi banget aja, tempatnya udah ramai sama orang yang berfoto disana-sini. Tau batu yang hits di ujung tebing itu kan? Jangan harap bisa berlama-lama duduk disitu, karena harus bergantian dengan yang lain untuk mengabadikan moment (baca: cari pose yang pas untuk dimasukin di Instagram). Oh iya, hati-hati pas ambil foto, gak usah becanda-becanda yang gak jelas. Atau gaya-gayaan sok-sokan ambil foto yang extreme. Bro, tebingnya tinggi banget, bro.

Tapi kalo boleh saran sih, selain berfoto, coba luangkan waktu sejenak buat duduk diam di sekitar situ. Nikmatin moment. Pandangin aja langit jingga yang pelan-pelan berubah jadi biru atau awan kabut yang perlahan hilang berganti pemandan pohon pinus. Kalo kata boyband-boyband Korea itu mah, “WOW, FANTASTIC BABY!”

Terlepas dari ketenarannya di Instagaram, kalian memang harus datang kesini, menyaksikan sendiri magisnya tempat ini. 



 Pada pengen punya foto kayak juga gini kan? Hayoo~ 
 

Sunday, May 14

Things Why I Wouldn’t Go Back Again To Phuket.

Sunday, May 14
Kalo ke Thailand, belom lengkap katanya kalo belom datang ke Phuket. Ibarat Inul tanpa goyang atau sayur tanpa garam atau aku tanpamu –*dicekek*. Maka jadilah mampir ke Phuket, setelah dari Georgetown kemaren. Nah, tapi ya kalo orang biasanya pada happy-happy di Phuket, gue malah kzl se-kzl-kzl-nya.


1. DO NOT GO TO PHUKET AROUND SEPTEMBER. I REPEAT, DO NOT GO! 

Jadi ceritanya trip kemaren perginya pas bulan September –IYA TAU, INI UDAH TELAT BANGET POSTINGNYA! *brb bersih-bersih sarang laba-laba di halaman blog*, Ide awalnya memang sengaja beli tiket pergi ke Georgetown dan pulangnya dari Bangkok. Ya, sekalian nyobain overland trip dari Malaysia ke Thailand, makanya mampir ke Phuket. It was totally fine when in Georgetown –the weather and everything. Tapi begitu nyampe Phuket semuanya berubah Sad smile Jadi katanya memang bulan September itu insentitas hujan lagi tinggi-tingginya di Phuket, (coba baca ini deh!) Makanya pas nyampe disana, langitnya mendung aja dong. Dan mendungnya bukan cuma mendung yang sebentar doang, SEHARIAN AJA DONG ITU MENDUNG KAGAK KELAR-KELAR. Udah mana bukan cuma hari itu aja, tapi besoknya juga. Kadang hujan, kadang enggak, suka-suka tuh hujan aja deh gimana dia ngatur hidupnya. *geregetan* Akhirnya, dengan terpaksa memutuskan untuk membatalkan paket trip ke Phi-phi Island. Ya mau gimana lagi, daripada nanti nyampe sana malah mendung atau hujan, terus gak ngapa-ngapain. Yang ada malah rugi, ya kan. *menghela napas panjang*

2. BELAJARLAH BAHASA TUBUH ATAU BAHASA KALBU, UNLESS LO BISA BAHASA THAILAND! 

Ada pengalaman yang nyebelin banget yang yang gue alamin pas di Thailand. Kebetulan waktu mau ke Phuket, ngambil bis yang paling malam dari Hatyai. Ceritanya biar nyampenya pagi, jadi gak perlu keluar budget lagi buat biaya nginep. Ya, namanya juga calon mantunya ini backpacker, Om, Tante. Sampailah pagi-pagi subuh di terminal bis Phuket. Tidur-tidur ayam sebentar sampai matahari agak nongol baru keluar dari terminal. Kebetulan ketemu tuk-tuk dan berbekal rasa penasaran, akhirnya berani buka suara buat nawar. 

*sebut saja oknum A itu saya dan oknum B itu abang-abang tuk-tuk-nya. 

A: (nunjukin peta Phuket) I wanna go to the Patong Beach area. How much?
B: *dia berbisik-bisik ke temennya sambil nunjukkin peta Phuket yang tadi terus balik lagi ke gue* FIFTY! (sambil nunjukin jarinya membentuk angka lima)
A: Oh, FIFTY? (gue mempertegas lagi dengan nunjukin jari membentuk angka lima dan nol)
B: (Dia menggangguk) A: Okay!


Akhirnya gue naiklah tuk-tuk untuk pertama kalinya dengan senyum sumringah. Dan kebetulan ngelewatin hostel tempat gue nginep, pas di depannya. Jadi sampailah gue dengan selamat sentausa di tempat tujuan, hadirin dan hadirat. 

Bahagia? Ohtentu. 

Gak perlu keliling-keliling lagi nyari alamat hostel, itu yang ada di pikiran saya. Akhirnya gue keluarin selembar uang lima puluh baht, terus kasih ke dia. Dan ternyata, JENG! JENG! JENG! 

B: No, no, no! (Dia ngembaliin duit selembaran lima-puluh baht yang gue kasih tadi) 
A: Hah? (Gue mulai bingung) 
B: No, no, no! NO FIFTY! FIVE HUNDRED! 
A: WHAT? –(And seriously I was like WHAT THE FUCK!) But you told me before it was fifty? B: No, no, no! FIVE HUNDRED! (Dia keukeuh!) 

YA TAPI KAN PAK, WALAUPUN BAHASA INGGRIS SAYA GAK JAGO-JAGO AMAT KUPING SAYA MASIH BISA BEDAAN MANA FIFTY DAN FIVE-FREAKING-HUNDRED! BAPAK TADI GAK ADA KATA-KATA HUNDRED-NYA! 

Tapi akhirnya gue juga udah males debat, jadi ya melayanglah itu lima ratus baht. 

4. PHUKET IS SO OVERPRICED. 

Enggak ngerti ini cuma perasaan gue doang apa gimana, –IYA, CAPRICORN EMANG ANAKNYA BAPER-AN! APA LO! APA LO!, tapi menurut gue ya Phuket ini a bit overpriced. Mulai dari makananan sampe apapun, semuanya kayaknya jatohnya mahal. Kalo di Bangkok, makan nasi goreng 30 baht aja porsinya udah banyak dan bikin kenyang, di Phuket mah boro-boro. Nasi goreng 100 baht rasanya flat aja gitu. Mungkin karena di Phuket ini kebanyakan yang dateng bule-bule Yurep sama Amerika kali ya, jadi mereka pikir duitnya pasti banyak. Nah, apa kabar backpacker kere dari Indonesia macam gue gini? 

*nangis di mesin ATM*

5. MINIM TRANSPORTASI. 

Ini juga rada bikin keki kalo lagi jalan-jalan di Phuket. Yes, transportasi. Memang sih ada beberapa jenis transportasi disana: bis umum, tuk-tuk dan taksi. Tapi, kalo tuk-tuk dan taksi yaudahlah yaaaa~ secara udah tau apa-apa disini mahal, so you do the math! Nah, jadinya satu-satunya harapan tinggal bus umum. Tapi itulah masalahnya. Bus umum disini rutenya cuma sedikit: dari sekitar area Pantai Phuket (nah, biasanya orang-orang nginepnya disekitar sini, karena penginapan/hostel/hotel banyak disini) ke Phuket Old Town, terus dari Phuket Old Town ke Terminal Bus Phuket (Terminal 1) dan dari Terminal Bus Phuket (Terminal 1) ke Terminal Bus Phuket Antar Kota (Terminal Bus 2). Dan yang paling bikin KZL! ialah bus umum jam 6 sore udah gak ada. Jadi, tau kan gimana rasanya harus ngeluarin lima ratus baht naik tuk-tuk dari Phuket Old Town ke sekitaran area Pantai Phuket karena ketinggalan bus terakhir ?! YASALAM!


6. SEMUANYA SERBA TOUR. 

Tujuan utama orang-orang banyak ke Phuket pada dasarnya adalah untuk menikmati pulau-pulau disekitarnya yang indah macam di film The Beach, misalnya Phi Phi Island atau James Bond Island yang terkenal itu. Tapi akses untuk menuju pulau-pulau itu lumayan susah kalo untuk ditempuh seorang diri. Makanya di Phuket bertebaran agen perjalanan yang menawarkan paket untuk menikmati keindahan pulau tersebut. Harganya sih bervariasi, tergantung budget kita. Cuma disarankan harus berhati-hati dalam memilih agen perjalanan, karena saking banyaknya, harus diperhatikan fasilitas apa yang kita dapat pada saat memilih jenis tour dan dibandingkan dengan agen perjalanan sejenis yang lain, ya supaya kita tidak dibodoh-bodohi. Coba cari atau baca di google mengenai review agen perjalanan yang dapat dipercaya, mungkin dapat membantu. Kalau saya, kemarin sempat ikut tour, namun karena cuaca yang kurang bersahabat akhirnya saya cancel. Jadi ujung-ujungnya cuma main ke Pantai Phuket –garis pantainya lumayan panjang, walaupun pantainya tergolong biasa aja (lagi-lagi karena mendung seharian jadi langitnya agak mendung gak ada biru-birunya acan) dan jalan-jalan ke Phuket Old Town yang sungguhlah bangunannya penuh warna dan berkunjung ke Wat Putta Mongkon yang ciamik itu.





  





  


Jadi kalo ada yang nanya, “Masih mau ke Phuket lagi?” jawabannya tentu saja tidak. Open-mouthed smile Mungkin akan kembali, tapi hanya untuk Phi Phi Island atau James Bond Island, karena kemaren belum jadi kesana!

Thursday, February 16

Ayutthaya, A Hidden Gem.

Thursday, February 16
Kalo kemaren udah ke Melaka dan Georgetown, berhubung kali ini trip-nya ke Thailand, makanya emang udah niat banget pengen berkunjung ke Ayutthaya. Nah buat kalian yang mau jalan-jalan ke Thailand, tapi bosen sama pantai di Phuket atau shopping di Bangkok, mungkin jalan-jalan ke Ayutthaya bisa jadi alternatif yang baru buat kalian.

Jadi ceritanya Ayutthaya ini, kota sisa-sisa reruntuhan akibat perang ngelawan Birma (sekarang Myanmar). Tapi justru dominasi reruntuhan kuil-kuil yang membuat kota ini menarik dan dijadikan sebagai heritage site sama UNESCO. I don’t know, but I always have a thing with old town.

Nah, gimana caranya ke Ayutthaya? 

Pastinya ada beberapa opsi, tapi yang paling gampang ya, naik kereta api dari Bangkok, cuma sekitar satu jam perjalanan kok. Naik kereta dari stasiun Hua Lamphong –kalo mau ke stasiun Hua Lamphong, bisa naik LRT langsung turun di stasiun keretanya kok, karena shelter LRT dan stasiun keretanya terintegrasi. Stasiun Kereta Hua Lamphong ini ibaratnya kalo di Jakarta macam Stasiun Kota, jadi semacam central station, ya stasiun kereta yang paling besar lah pokoknya.





Setibanya di Stasiun Kereta Hua Lamphong, langsung beli tiket menuju Ayutthaya. Harga tiketnya sekitar 20 baht untuk kelas kereta ekonomi. Kalo dilihat dari penampakan keretanya sih, mirip sama model kereta di Jakarta untuk tujuan luar kota





Tepat di seberang stasiun kereta Ayutthaya, sudah berjejer beberapa sepeda motor dan sepeda yang siap untuk dirental. Cara paling menyenangkan untuk mengelilingi kota Ayutthaya, melihat sisa-sisa reruntuhan kuil yang tersebar disekitar kota, memang menggunakan kendaraan tersebut. Dan kota ini tidak terlalu besar, sudah cukup lah rasanya seharian untuk keliling dengan sepeda.



Harga rental sepeda sekitar 60 baht sementara sepeda motor sekitar 160 baht, untuk waktu pemakaian selama enam jam. Dan tenang aja, kita gak bakal sendirian kok. Nanti pasti kita akan menemukan banyak travellers lain yang bersepeda atau menggunakan sepeda motor untuk berkeliling kota Ayuthaya.

Kalo lihat dari peta kotanya sendiri, banyak banget kuil yang ada. Berikut beberapa di antaranya.








Ini namanya Wat Mahathat. Kuil yang terkenal sama kepala Budha yang terlilit ranting pohon itu. Sepertinya area reruntuhan kuil ini yang paling luas dan paling terkenal. Kalo mau masuk kesini, ada tiket masuk sebesar 50 baht, but its worth every baht, really.




Ada beberapa juga yang lainnya seperti misalnya Wat Yanesen, Wat Thammikart, Wat Hasadavas dan Wat Na Phra Men. Ada yang letaknya dipinggir jalan, ada juga yang terpencil banget letaknya. Ada yang berbayar macam kuil yang di atas tadi, ada juga yang gratis. Mau tau kuil yang paling susah untuk dikunjungi?



Iya, kuil patung Budha yang lagi tidur, Wat Lokayasutharam namanya. Ini terpencil banget kuilnya. Kalau mau kesini harus ngelewatin semacam kali kecil terus habis itu ada pasar kaget gitu, nyari-nyari jalan buat ke kuil ini.

Overall, terlepas dari reruntuhan kuil-kuilnya, Ayutthaya ini tidak terlalu padat dan ramai. Just another regular laid back town. Cukup menyenangkan untuk berkeliling-keliling naik sepeda di kota, melambaikan tangan sambil melempar senyum ke antar sesama traveler atau ke penduduk setempat. Kota ini pun cukup lengang, gak terlalu banyak kendaraan yang melintasi jalanan, Salut sama pemerintah setempat yang bisa menjaga kota bekas reruntuhan perang, peninggalan sejarah, menjadi tempat tujuan wisata.

Jadi gimana, gak pengen keliling-keliling Ayutthaya?



DRIVO JANSEN © 2014